Pada rangkaian puncak haji, tentunya banyak pertanyaan mengenai batu yang digunakan dalam pelontaran jumroh. Banyaknya jemaah haji yang datang setiap tahunnya dengan pertambahan batu di Muzdalifah tentunya tidak sebanding. Setiap tahunnya, jutaan jemaah datang ke Baitullah untuk melangsungkan ibadah haji. Bagi jemaah haji yang melakukan nafar awal dibutuhkan kurang lebih 49 buah batu per orang, sedangkan bagi yang nafar tsani dibutuhkan 70 batu per orang. Lantas bagaimana hukumnya jika batu yang digunaka bukan berasal dari Muzdalifah?

Banyak ulama yang berpendapat batu yang digunakan harus dari Muzdalifah. Rasulullah memberikan teladan bahwa beliau mengambil batu di tanah Muzdalifah dan melakukan mabit di tempat tersebut hingga Subuh lalu melanjutkan perjalanan menuju Mina. Setelah sampai di Mina, beliau melakukan pelontaran jumroh. Apa yang telah di contohkan oleh Rasulullah SAW merupakan teladan yang paling utama atau dapat dikatakan afdolnya seperti itu.

Namun terdapat pendapat ulama lainnya yakni diperbolehkan untuk menggunakan batu di wilayah masya’ir. Yang dimaksud dengan wilayah masya’ir adalah wilayah Arafah, Mina, dan tanah haram Mekah. Batu diwilayah tersebut boleh digunakan dalam melakukan pelotaran jumroh.

Pada kenyataannya, sejak jemaah sampai di Muzdalifah situasi disana sangat ramai dan peuh. Bahkan tidak jarang waktu untuk melakukan pengambilan batu tidak memungkinkan karena banyaknya orang yang ada di tempat itu. Oleh sebab itu diperbolehkan bagi jemaah untuk menggunakan batu yang diambil dari wilayah masya’ir tersebut. Bahkan bagi orang yang melontar jumroh menggunakan batu disekitar tempat pelontaran diperbolehkan. Namun perlu dipahami, untuk batu yang sudah digunakan untuk melontar atau yang berada di bak pelontaran tidak boleh digunakan. Sama halnnya dengan batu yang diambil diluar wilayah masya’ir, terlebih dari tanah air, juga tidak boleh digunakan untuk melontar.