Dalam Islam, setiap muslim diwajibkan mencari rezeki. Salah satu rezeki halal bisa didapatkan dengan transaksi berdagang atau jual beli.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan proses muamalah dengan cara jual beli dan menggaramkan riba. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah Ayat 275,

ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Mengutip buku Etika Pelaku Bisnis Islam karya Muhammad Arafah, dijelaskan pengertian jual beli secara bahasa bermakna memiliki dan membeli. Pengertian jual beli secara syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan memberi kepemilikan. Atau dengan kata lain secara syara’ jual beli adalah pemindahan kepemilikan dengan kompensasi menurut konteks yang disyariatkan.

Islam mensyariatkan jual beli dan menetapkan hukumnya boleh. Islam tidak membenci jual beli, bahkan Islam menganggap jual beli sebagai salah satu wasilah kerja, sehingga Al-Qur’an memberikan sifat yang baik terhadap transaksi ini.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menyetujui sebagian dari jual beli itu dan melarang sebagian yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan masyarakat sama-sama memperjualbelikan apa yang mereka butuhkan dan menghalangi apa yang telah dilarang.

Berdagang juga menjadi cara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjemput rezeki di masa mudanya. Bahkan ia bertemu dengan Khadijah, sang istri ketika menjalani bisnis perdagangan. Sang sahabat, Abdurahman bin Auf merupakan salah satu pedagang yang sukses yang namanya dijamin masuk surga.

Merangkum buku Ekonomi dan Bisnis Islam: Konsep dan Aplikasi Terkini yang disusun oleh Afief El Ashfahany dkk disebutkan beberapa hadits yang menghalalkan pekerjaan berdagang dan sederet keutamaan bagi orang-orang yang berdagang.

  1. Dicukupi rezekinya

Sungguh seandainya salah seorang diantara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung kemudian kembali memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik dari pada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi maupun tidak. (HR Bukhari)

  1. Pekerjaan paling baik

Suatu saat Rasulullah pernah ditanya oleh para sahabat, “Pekerjaan apa yang paling baik ya Rasulullah? Beliau menjawab; seorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR Al Bazzar).

  1. Keutamaan pedagang jujur

“Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama nabi, orang-orang shiddiqin, dan para syuhada.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

  1. Kewajiban bagi muslim

“Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah.” (HR Ath-Thabrani dan Baihaqi)

  1. Ancaman bagi pedagang tak jujur

“Barang siapa yang mengacungkan senjatanya (memberontak) kepada kami, bukanlah dari golongan kami dan barang siapa berlaku curang kepada kami (dalam berjual beli) bukanlah golongan kami.” (HR Muslim).

  1. Mendapat kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Allah Subhanahu wa Ta’ala mengasihi seseorang yang murah dalam menjual, mudah dalam membeli, dan lapang dada dalam menagih hutang.” (HR Bukhari).

  1. Pejuang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Kalau dia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang lanjut usia, itu adalah fisabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta itu juga fisabilillah. (HR. Thabrani)