Jika seseorang memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk melaksanakan ibadah haji, namun dengan sengaja tidak berangkat tanpa alasan yang dibenarkan, hal tersebut bisa dianggap sebagai penundaan atau penolakan terhadap kewajiban agama. Namun, itu tidak langsung menjadikan seseorang sebagai kafir.
Haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan sekali seumur hidup oleh orang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Jika seseorang menunda atau menolak melaksanakan haji tanpa alasan yang dibenarkan, maka dia memikul dosa karena tidak menjalankan kewajiban agama yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Namun, status keimanan seseorang tidak secara otomatis berubah menjadi kafir hanya karena tidak berangkat haji. Keimanan seseorang bergantung pada keyakinan dan amal perbuatan mereka secara keseluruhan. Meskipun seseorang mungkin telah melakukan kesalahan dengan tidak melaksanakan ibadah haji, mereka masih dapat bertaubat, memperbaiki diri, dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya yang diperintahkan oleh agama Islam.
Ulama sepakat bahwa ibadah haji hukumnya wajib ‘ain bagi yang mampu. Allah ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS. Ali Imran: 97).
Bahkan, ibadah haji adalah salah satu rukun Islam. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengaku Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji, dan berpuasa di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16).
Patokan Mampu
Haji wajib hukumnya bagi yang mampu melaksanakannya. Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Demikian juga Allah ta’ala berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS. Al-Baqarah: 286).
Dan patokan “mampu”, dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhul Muyassar (hal. 173), adalah dengan melihat empat poin:
- Mampu secara harta, sehingga ia memiliki bekal untuk perjalanan dan mampu meninggalkan nafkah yang cukup untuk keluarga yang ditinggalkan.
- Mampu melakukan perjalanan ke Baitullah.
- Mampu secara fisik, tidak sedang sakit parah atau tua renta yang membuat ia tidak bisa melakukan perjalanan ke Baitullah.
- Jalur perjalanan menuju ke Baitullah dalam kondisi aman, tidak ada bahaya seperti perampok, wabah, perang, dan semisalnya.
Jika salah satu kriteria ini tidak terpenuhi, maka belum dikatakan mampu sehingga belum wajib untuk berhaji.
Dan ada satu kriteria lagi bagi wanita yang ini diperselisihkan oleh para ulama. Yaitu mampu menghadirkan mahram untuk melakukan perjalanan haji, ketika tempat tinggalnya jauh dari Mekkah. Ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat:
- Ulama Hanabilah berpendapat wajibnya hal ini secara mutlak.
- Ulama Syafi’iyyah berpendapat tidak wajibnya ditemani mahram untuk haji wajib.
- Adapun Ulama Malikiyah berpendapat wajib bersama mahram jika ada, namun boleh tanpa mahram jika tidak ada. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Yang kuat, wanita wajib menghadirkan mahram untuk haji maupun umrah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بامْرَأَةٍ إلَّا وَمعهَا ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ، فَقَامَ رَجُلٌ، فَقالَ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّ امْرَأَتي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وإنِّي اكْتُتِبْتُ في غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، قالَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ مع امْرَأَتِكَ
“Tidak boleh seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya. Dan seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya”. Maka seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku hendak berhaji, dan aku sudah terdaftar untuk berangkat (jihad) perang ini dan itu”. Nabi bersabda, “Pulanglah dan temanilah istrimu berhaji”” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341).
Dalam hadits ini, lelaki yang ingin pergi berjihad diminta oleh Nabi untuk tidak berangkat berjihad demi untuk menemani istrinya berhaji. Ini mengindikasikan wajibnya hal tersebut. Dan tidak boleh wanita berhaji atau berumrah tanpa ditemani oleh mahramnya. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ulama Kibar Mu’ashirin seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan Syaikh Shalih Al-Fauzan.