Wasiat dan warisan merupakan dua hal penting dalam fikih waris, selain pelunasan utang. Mana yang harus didahulukan? Menurut penjelasan dalam kitab At-Tadzhib fi Adillati Matnil Ghaya wa Taqrib karya Al-Qadhi Abu Syuja’ Ahmad bin Al Husain Al-Ashfahani, hukum wasiat adalah mubah (boleh), baik wasiat terhadap barang yang sudah jelas maupun yang belum jelas, seperti mewasiatkan baju yang belum ditentukan.
Wasiat juga diperbolehkan terhadap barang yang sudah ada maupun yang belum ada. Contohnya mewasiatkan buah yang akan tumbuh di sebuah pohon.
Menurut ketentuan fikih dalam mazhab Syafi’i, wasiat paling banyak adalah sepertiga dari harta. Apabila melebihi batas tersebut, wasiat harus ditangguhkan untuk menunggu persetujuan ahli waris.
Ketentuan tersebut bersandar pada hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA. Ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjengukku ketika sakit, maka aku bertanya kepada beliau, ‘Apakah aku boleh mewasiatkan seluruh hartaku?’ Beliau menjawab, ‘Tidak boleh.’ Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana jika setengahnya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak boleh.’ Lalu aku bertanya lagi, ‘Bagaimana jika sepertiga?’ Beliau menjawab, ‘Tidak apa-apa. Sepertiga itu sudah banyak.'” (HR Bukhari dan Muslim)
Pembagian Waris Dilakukan setelah Wasiat
Dalam Islam, antara wasiat dan warisan harus didahulukan penunaian wasiat. Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, pembagian warisan dilakukan setelah pelunasan utang dan penunaian wasiat. Ini merupakan kesepakatan para ulama. Ibnu Katsir menjelaskan hal ini saat menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surah An Nisa ayat 11 dan ditegaskan lagi saat menafsirkan ayat 12.
“Pelunasan utang harus didahulukan atas penunaian wasiat; sesudah utang diselesaikan, maka barulah wasiat; dan sesudah wasiat, baru harta dibagikan kepada ahli waris si mayat,” jelas Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir-nya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dimaksud dalam hal ini yakni,
۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ ١٢
Artinya: “Bagimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Bagi mereka (para istri) seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, bagi mereka (para istri) seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Akan tetapi, jika mereka (saudara-saudara seibu itu) lebih dari seorang, mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS An Nisa: 11)
تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗ وَذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ ١٣
Artinya: “Itu adalah batas-batas (ketentuan) Allah. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (Mereka) kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS An Nisa: 12)
Kriteria Penerima Wasiat
Berikut beberapa kriteria orang yang boleh menerima wasiat, sebagaimana dijelaskan dalam sumber sebelumnya.
- Beragama Islam
- Baligh
- Berakal
- Merdeka
- Dapat dipercaya
Wasiat tidak diperbolehkan untuk ahli waris, kecuali mendapat persetujuan dari ahli waris lainnya. Hal ini mengacu pada hadits Abu Umamah RA yang mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٌّ حَقَّهُ وَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثِ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap hak kepada masing-masing penerimanya. Mkaa tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan ia mengatakan hadits ini hasan shahih)
Ibnu Abbas RA juga mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
لا تَجُوْزُ وَصِيَّةٌ لِوَارِثِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ الْوَرَثَةُ
Artinya: “Wasiat tidak diperbolehkan untuk ahli waris kecuali ahli waris yang lain menghendakinya.” (HR Ad-Daruquthni)