Dalam Islam, pertanyaan tentang siapa yang paling berhak menjadi imam dalam shalat sering kali muncul. Pemilihan imam dalam shalat memiliki kriteria tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan ajaran agama. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara ulama tentang beberapa aspek tertentu, terdapat prinsip-prinsip umum yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menentukan siapa yang paling berhak menjadi imam dalam shalat.

Orang yang paling berhak menjadi imam dalam shalat adalah orang yang paling mengetahui hukum shalat dan hapal Al-Qur’an.

Dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله ، فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنَّة

“Hendaknya yang menjadi imam adalah orang yang paling baik bacaannya terhadap Kitabullah. Jika bacaannya sama, maka yang berhak adalah orang yang paling mengetahui sunnah.” (HR. Imam Muslim, 1530)

Yang dimaksud orang yang paling baik bacaannya bukan orang yang paling bagus bacaannya, akan tetapi maksudnya adalah orang yang hafal Al-Qur’an. Yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits Amr bin Salamah, dia berkata,.. “Aku adalah orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’an. Seakan-akan telah menetap dalam dadaku. Maka ketika terjadi penaklukan (Mekkah) orang-orang bersegera masuk Islam dan ayahku juga bersegera bersama kaumnya masuk Islam. Ketika dia datang, dia berkata, ‘Saya baru datang kepada kalian setelah bertemu Nabi shallallahu alaihi wa sallam,’ maka beliau berkata, ‘Shalatlah kalian shalat ini ketika ini dan shalatlah ini pada waktu ini. Ketika telah hadir waktu shalat, hendaklah salah satu di antara kalian ada yang adzan, dan hendaklah yang menjadi imam di antara kalian adalah yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya. Maka setelah mereka melihat, mereka tidak mendapatkan orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’an selain dari diriku. Ketika dalam perjalanan, maka mereka mengajukan diriku di antara mereka padahal usia saya waktu itu berumur enam atau tujuh tahun.” (HR. Bukhari, no. 4051)

Sesungguhnya kami katakan, harus orang yang mengetahui tentang hukum shalat, karena terkadang tiba-tiba ada permasalahan, seperti batal wudhu atau kurang jumlah rakaat, maka jika dia tidak mengusasi hukum shalat, maka langkahnya tidak tepat, terjerumus dalam kekeliruan atau lainnya, sehingga shalatnya keliru dan dan membuat shalat makmumnya berkurang nilainya atau bahkan dalam menyebabkan batal shalat.

Hadits tadi, dijadikan dalil oleh sebagian ulama mengambil dalil untuk lebih mengedepankan yang lebih faham fikih.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Malik, Syafi’i dan para shahabatnya mengatakan, “Orang yang lebih paham fikih lebih didahulukan dibandingkan orang yang lebih banyak hafalan Al-Qur’annya. Karena kebutuhan akan bacaan itu dapat diperkirakan, sementara kebutuhan terhadap fikih tidak dapat diperkirakan. Terkadang tiba-tiba ada permasalahan dalam shalat yang tidak mampu diatasi kecuali  oleh orang yang memahami fikih. Mereka mengatakan, ‘Oleh karena itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengedepankan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu  dalam shalat dibandingkan dengan shahabat lainnya, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa shahabat yang lainnya itu lebih baik hafalan Al-Qur’annya. Adapun terkait hadits yang dimaksud, mereka menjawab bahwa maksud ‘yang paling baik bacaannya’ itu dahulu adalah orang yang lebih faham tentang fikih. Akan tetapi adanya redaksi,  ‘kalau bacaan mereka sama, maka yang menjadi imam adalah yang lebih paham tentang sunah.’ Merupakan dalil bahwa yang lebih bagus hafalannya didahulukan sebagai imam secara mutlak.” (Syarah Muslim, 5/177).

Maka pendapat An-Nawawi rahimahullah ini, meskipun berbeda dengan imamnya, As-Syafi’i, dalam memberikan kesimpulan dari hadits, memiliki bobot tersendiri. Karena  di kalangan para shahabat, tidak ada mereka yang bagus hafalannya kecuali dia  memahami hukum syariat dengan baik, tidak sebagaimana kondisi banyak orang di zaman kita sekarang ini.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kalau salah satu di antara keduanya itu lebih memahami fikih shalat sementara yang lainnya lebih memahami fikih selain shalat, maka didahulukan yang lebih faham tentang shalat.” (Al-Mugni, 2/19).

Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan, “Jika hal ini telah diketahui,  maka tidak sah menjadi imam orang yang tidak paham kecuali jika makmumnya orang yang semisalnya atau  tidak ada orang yang lebih layak menjadi imam.” (Fatawa Islamiyah, 1/264).